PELAKSANAAN
PEMBAYARAN UTANG KREDITUR PREFEREN DALAM KASUS KEPAILITAN
Reynold
Martinus Halim,Badriyah Rifai, Anwar Borahima/Program Kenotariatan, Fakultas
Hukum, Universitas Hasanuddin/Email :Reynold_halim82@yahoo.com/2012
ANALISA
Dalam
jurnal “PELAKSANAAN PEMBAYARAN UTANG KREDITUR PREFEREN DALAM KASUS KEPAILITAN”
ini, saya hanya menemui beberapa poin dari materi yang diajukan. Poin-poin
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pengertian
pailit
Dalam
jurnal ini pengertian Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu
untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para
kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan
kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami
kemunduran.
2. Pihak-pihak
yang dapat mengajukan kepailitan
Dalam
jurnal ini pihak yang mengajukan kepailitan atau puhak debitor adalah PT.
Samyoung Recycling Technology.
3. Keputusan
pailit dan akibat hukumnya
Dalam
jurnal ini hokum kepailitan adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan tidak mengatur pengertian utang, sehingga pengadilan melakukan penafsiran
apa yang dimaksud dengan utang yang diambil dari beberapa putusan pengadilan, diantaranya
adalah utang yang muncul dari pinjam meminjam uang, utang yang muncul dari peminjaman
barang dagangan, utang yang muncul dari perjanjian sewa menyewa (Siti Anisah, 2008).
4. Pihak-pihak
yang terkait dalam pengurusan harta pailit
Dalam
kasus pada jurnal ini, pihak yang terkait dalam pengurusan harta pailita adalah
3 orang Kurator, 2 orang Hakim Pengadilan Niaga dan 5 orang aparat KPP Pratama
Jakarta Pusat.
5. Pencocokan
piutang
Dalam
kasuspada jurnal ini, seluruh utang pajak Samyoung Recycling Technology sebesar
Rp 25.264.802.240,- negara hanya mendapatkan pelunasan sebesar Rp 2.498.733.878,-
Berdasarkan uraian tersebut, maka
terdapat kecenderungan bahwa utang debitur pailit kepada kreditur preferen
dalam kenyataannya tidak serta-merta memenangkan pelaksanaan hak mendahulunya
yang berkaitan dengan pembayaran utangnya.
6. Permohonan
kembali
Dalam
kasus pada jurnal ini, permohonan kembali dapat dilakukan karena telah
menemukan permasalahan-permasalan sebagai berikut:
1. Terkadang
hasil penjualan asset perusahaan yang kurang sehingga pembayaran utang pajak
tidak terpenuhi
2. Kantor
pajak sering menentukan secara sepihak dan seenaknya saja besarnya nilai
tagihan pajak yang harus dibayarkan perusahaan tanpa ada transparansi dan
aturan yang jelas mengenai mekanisme penghitungan besaran jumlah pajak perusahaan
pailit
3. Kurator
tidak memiliki data pembanding dengan yang ada di kantor pajak sehingga kurator
sering curiga dengan penetapan jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh debitur
pailit
4. Kantor
pajak terkesan kurang profesional dalam proses penagihan utang pajak perusahaan
pailit, dimana setelah menentukan besarnya jumlah pajak secara sepihak dan
ternyata pajak yang dibayarkan oleh pihak perusahaan tidak sesuai dengan nilai
klaim dari kurator, maka kantor pajak mengajukan keberatan, namun
sampai pada tingkat peninjauan kembali (PK) keberatannya tidak di kabulkan,
maka kantor pajak menerima saja berapapun jumlah yang dibayarkan sesuai dengan
klaim dari curator
5. Kantor
pajak selalu menginginkan pembayaran penuh dari kreditur lainnya yakni kreditur
separatis dan buruh, hal ini sangat mencederai rasa keadilan kreditur separatis
dan kreditur preferen lainnya seperti buruh.
HASIL
ANALISA
Pelaksanaan
pembayaran tagihan utang pajak perusahaan dalam kasus kepailitan belum optimal.
Karena dana atau uang hasil penjualan asset perusahaan untuk membayar hutang/tagihan
pajak kepailitan kurang, bahkan hasil penjualan harta kekayaan beberapa perusahaah
pailit sudah habis sehingga untuk membayar utang pajak tidak tersedia. Di
samping itu, faktanya kreditur separatis biasanya lebih dahulu menyita seluruh
asset perusahaan karena seluruh asset tersebut dibebani oleh hak tanggungan
atau jaminan hutang.