REVIEW
PENGEMBANGAN KOPERASI INDONESIA SUATU ORIENTASI DARI
KONDISI SOSIAL, BUDAYA DAN EKONOMI DALAM RANGKA GLOBAISASI
Oleh
Usman
Moonti
PEMBAHASAN
NAMA : TATY HARLINI MANURUNG
NPM : 28211269
Nilai-Nilai
dan Prinsip-Prinsip Koperasi
Menurut statement yang dikeluarkan ICA (International
Cooperative Alliance), koperasi didasarkan pada nilai-nilai menolong diri
sendiri, swadaya, demokrasi, persamaan, keadilan dan kesetiakawanan, mengikuti
tradisi para pendirinya. Anggota-anggota koperasi percaya pada nilai-nilai
ethis dari kejujuran. keterbukaan, tanggungjawab sosial Berta keperdulian
terhadap orang-orang lain.
Nilai-nilai tersebut merupakan rumusan barn setelah
perdebatan selama beberapa tahun dikalangan organisasi yang anggotanya diseluruh
dunia. Munker (2002) berusaha mengklarifikasi konsep nilai im pada penekanan
swadaya, yang dapat disalah artikan sebagai membenarkan egoisme kelompok
diimbangi dengan nilai-nilai etis tentang kejujuran, keterbukaan, tanggungjawab
sosial dan perhatian terhadap sesama.
Prinsip-prinsip koperasi juga mengalami perubahan
walau tampak mirip dengan prinsip ICA terdahulu. Prinsip-prinsip yang berhasil
dirumuskan pada kongres di Manchester 1995 adalah:
- Anggota sukarela
- Pengendalian oleh anggota-anggota secara demokrasi
- Partisipasi ekonomi anggota
- Otonomi dan kebebasan
- Pendidikan, pelatihan dan informasi
- Kerjasama diantara koperasi
- Kepedulian terhadap komunitas
Sebelumnya prinsip-prinsip koperasi dikembangkan
oleh koperasi moderen pertama didirikan tahun 1944 oleh 28 orang pekerja
Lancashire di Rochdale. Prinsip tersebut dikenal dengan tujuh prinsip koperasi.
- Keanggotan terbuka
- Satu anggota, satu suarn
- Pengembalian (bunga) yang terbatas atas modal
- Alokasi SHU sebanding dengan transaksi yang dilakukan anggota.
- Penjualan tunai
- Menekankan pada unsur pendidikan
- Netral dalam agama dan politik (Ropke 2000 hal : 18)
****
Permasalahan
Koperasi Indonesia
Di Indonesia, kondisi koperasi tidak menggembirakan.
Di antara tiga pelaku perekonomian, koperasi adalah sektor yang paling
memprihatinkan, lebih blinik lagi Kasiyanto beranggapan bahwa koperasi sebagai
anak lemah mental. Julukan seperti itu, sah-sah saja tetapi terapi yang
digunakan hendaknya tidak dilakukan oleh semangat yang bermental lemah.
Pembentukan BUUD (Badan Usaha Unit Desa), Koperasi Kredit (Kopdit) dan KUD
(Koperasi Unit Desa) yang dipelopori oleh pemerintah dan LSM bukan membantu
masyarakat melainkan mengganggu. Dosa yang paling besar yang dilakukan oleh KUD
yang sudah memegang monopoli dipedesaan adalah sampai saat ini belum dapat
mengangkat nilai tukar petani, paling sedikit sesuai dengan kenaikan inflasi
(lihat gambar 1). Lebih kejam lagi, KUD menjadi ujung tombak pedagang semakin memeras
petani.
Fenomena lain yang tidak perlu dibuktikan secara
empiris, adalah ketika pemerintah menghimbau BUMN untuk membantu usaha kecil
dan Koperasi bermunculanlah usaha-usaha flktif dan koperasi dadakan yang ingin memanfaatkan
dana tersebut sebagai suatu "rezeki bersama". Masalah lain juga
muncul ketika pemerintah memberikan kredit usaha tam. Departemen koperasi (Depkop)
diberi wewenang sebagai excecuting dengan kekuasaanya lebih leluasa memberikan
kredit kepada mereka yang meminta padahal Depkop sendiri sebagai pembina sekaligus
sebagai pelaksana KUT. Minimnya pengalaman dan perangkat Depkop dalam
penyaluran dan pemberian kredit menyebabkan banyak kredit yang diberikan tidak
dapat dikembalikan (kredit macet)
****
Jalan
Keluar dari Permasalahan Koperasi Indonesia
Wajah perekonomian Indonesia memang tidak terlalu
indah. Keinginan untuk merawat dan menata dapat menyelamatkan koperasi dari
masalah-masalah yang dihadapi. Beberapa Jalan keluar dapat dilakukan dengan
menganalisis pokok-pokok persoalan pada setiap komponen lingkungan koperasi
tersebut. Masing-masing komponen terdiri atas komponen pertama nilai dan
prinsip mempakan cerminan kepribadian koperasi. Kedua, komponen pemerintah yang
dijabarkan melalui kebijakan dan pengaruhnya terhadap keberadaan koperasi. Komponen
ketiga adalah anggota yang melandasi terciptanya koperasi dan komponen terakhir
adalah kepengurusan sebagai sebuah motor yang akan menggerakkan koperasi.
****
Perilaku
dan Budaya Organisasi Koperasi
Walaupun koperasi memiliki ciri organisasi yang
berbeda dan organisasi lain, tetapi aspek perilaku dan budaya organisasi akan
sama matchingnya jika diterapkan dalam organisasi apapun jenisnya. Beberapa
bukti empiris menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara Cooperate Culture dan
Kmierja (Kottler dan Hesket : 1997). Bahkan, budaya juga sangat berpengaruh
dalam meningkatkan konsistensi seseorang berperilaku (Stephen P. Robbins dalam
Nadraha, 1997). Dengan demikian, budaya menjadi faktor penting untuk
meningkatkan kinerja seseorang dalam organisasi.
Lain
halnya dengan Covey, la beranggapan ada tujuh kebiasaan agar individu maupun
organisasi mencapai sukses dalam mengembangkan misi dan visi vang dituju. Tujuh
kebiasaan tersebut meliputi
- Arti penting bersikap pro-aktif, tidak sekedar re-aktif
- Merujuk pada tujuan akhir, fokus yang jelas
- Mendahulukan yang utama, secara prioritas yang tegas.
- Berpikir menang-menang; resolusi konflik yang bersifat tidak menjatuhkan lawan
- Berusaha mengerti dahulu baru dimengerti toleransi kepada lawan bicara/mitra
- Mewujudkan sinergi, menjalin kolaborasi dalam bentuk team work
- Mengasah gergaji dengan senantiasa meningkatkan ilmu dan wawasan baru
Pikiran Covey memutar persepsi dahulu budaya adalah
"akibat", sekarang dijadikan "sebab" budaya perusahaan
menjadi salah satu alai kunci atau penyebab tumbuhnya perusahaan yang sehat.
Budaya perusahaan menjadi strategi, mater mengubah sikap dan perilaku Berta
sebagai sarana untuk mencapai efisien dan penyesuaian dengan tuntutan zaman
yang senantiasa berubah.
Perubahan paradigms dan pemanfaatan budaya
perusahaan adalah salah satu solusi dalam menghadapi zaman yang kian kompleks.
Budaya perusahaan juga terkait erat dalam program organization development, berhubungan
dengan program, intervensi keorganisasian, struktur organisasi dan pada
akhirnya menyentuh aktivitas perencanaan SDM, pengembangan, pendidikan dan
pelatihan agar SDM memiliki nilai budaya yang kuat, adaptif dan sesuai dengan
tuntutan bisms di era global (Syarwahani dan Priyohadi : 2001 )
****
0 komentar:
Posting Komentar