ENRON DAN SISI GELAP KAPITALISME
Sejarah, kata Francis Fukuyama,
telah berakhir dengan kemenangan demokrasi dan pasar bebas. Kenapa demokrasi
Amerika tak bisa mengakhiri sejarah ketamakan manusia akan uang serta
kekuasaan?
Enron Corp. adalah “pencakar
langit” dalam dunia bisnis Amerika, sama seperti Gedung World Trade Center yang
menjulang tinggi di kota New York. Mirip Tragedi WTC, tapi minus darah dan
kematian, Enron menguap jadi debu saat perusahaan itu menyatakan diri bangkrut
pada 2 Desember lalu, -kebangkrutan terbesar dalam sejarah bisnis Amerika
sepanjang masa.
Kali ini, tak ada Usamah bin Ladin atau Al Qaidah yang bisa menjadi
kambing hitam. Publik Amerika dipaksa untuk menuding cacat dalam sistemnya
sendiri-sistem ekonomi maupun politiknya-sebagai “teroris” yang merontokkan
Enron secara mengejutkan itu.
Mengejutkan dan mencengangkan.
Belum lama berselang, perusahaan raksasa energi itu masih bertengger di
peringkat ke-7 dalam “Fortune 500″-daftar perusahaan terkaya dunia versi
Majalah Fortune. Omsetnya bisnisnya pada tahun 2000 lalu tercatat sekitar US$
100 milyar, kurang-lebih sama dengan total pendapatan kotor negeri sebesar
Indonesia pada tahun yang sama.
Enron dipandang sukses menyulap diri dari sekadar perusahaan pipanisasi
gas alam di Negara Bagian Texas pada 1985 menjadi raksasa global dalam beberapa
tahun terakhir. Dia membeli perusahaan air minum di Inggris dan membangun
pembangkit listrik swasta di India. Konsep bisnisnya yang visioner dan
futuristik membuat dia menjadi anak emas di lantai bursa Wall Street. Harga
sahamnya terus meroket.
Akhir 1999, Enron meluncurkan
EnronOnline yang dianggap akan mengubah wajah bisnis energi masa depan.
Memanfaatkan Internet, divisi e-commerce itu membeli gas, air minum dan tenaga
listrik dari produsen dan menjualnya kepada pelanggan atau distributor besar.
Enron bahkan memperluas wilayah: membangun jaringan telekomunikasi berkecepatan
tinggi serta bertekad menjual bandwidth jaringan itu seperti dia menjual gas
dan listrik. Setelah itu mungkin dia akan jual-beli online untuk kertas daur
ulang pabrik miliknya.
Tak lama setelah dia memasuki bisnis jasa video-on-demand-menjual tayangan
video kepada pelanggan via sambungan internet kecepatan tinggi–harga saham
Enron mencapai puncaknya, US$ 90 per lembar, pada Agustus 2000. Meski kemudian
merosot bersama jatuhnya saham-saham teknologi dan internet lain, pertengahan
tahun lalu nilai pasar Enron (jumlah lembar saham dikalikan harganya) masih
berkisar US$ 60 milyar, atau dua kali lipat anggaran belanja Indonesia.
Miliaran dolar menguap hampir seketika. Pada Oktober 2001 Enron
menjatuhkan bom di Wall Street dengan melaporkan kerugian ratusan juta dolar
pada kwartal itu. Sangat mengejutkan karena Enron hampir selalu membawa berita
gembira ke lantai bursa dengan selama empat tahun berturut-turut melaporkan
keuntungan. Kabar buruk itu membanting harga saham Enron dari sekitar US$ 30
menjadi US$ 10 per lembar, hanya dalam hitungan hari.
Securities Exchange Commission
(SEC), badan pengawas pasar modal, membaui ada yang tidak beres dan mulai
menggelar penyidikan. Dalam kondisi terdesak, Enron menjatuhkan bom lebih
dahsyat lagi ke lantai bursa ketika pada 8 November mengakui bahwa
keuntungannya selama ini adalah fiksi belaka. Enron merevisi laporan keuangan
lima tahun terakhir dan membukukan kerugian US$ 586 juta serta tambahan catatan
utang sebesar US$ 2,5 miliar.
Harga saham Enron makin berkeping. Namun, pada akhir November, Enron
sedikit bisa bernafas lega ketika Dynegy Inc, pesaingnya yang jauh lebih kecil,
berniat membeli sahamnya dalam sebuah kesepakatan merger. Harapan itu tak
berumur lama. Spiral kematian terus berlanjut. Dynegy mundur setelah Enron
makin kehilangan kepercayaan investor dan rating kreditnya jatuh ke titik
terendah-berstatus “junk-bond”.
Dalam sebuah hari yang paling
“berdarah”, ketika tak kurang seperempat milyar lembar sahamnya dipertukarkan
di lantai bursa, harga Enron meluncur ke dasar jurang. Hanya puluhan sen
nilainya. Beberapa hari kemudian Enron menyerah: mengajukan petisi bangkrut.
Seperti timbunan besi dan beton bekas bangunan WTC di Manhattan, Enron
adalah puing berdebu sekarang. Tapi, cerita tak berakhir di situ.
Lebih Dahsyat dari Bre-X
Punahnya Enron meninggalkan
kerugian milyaran dolar bagi investor. Sertifikat saham mereka tak lagi punya
nilai-mungkin hanya layak dipajang dalam pigura untuk mengenang salah satu
skandal keuangan terbesar di awal abad ini. Skandal Enron lebih dahsyat dari
Skandal Saham Bre-X di Bursa Kanada beberapa tahun lalu. Saham Bre-X meroket
hanya untuk terjun bebas setelah perusahaan itu mengaku bahwa tambang emasnya
di Busang, Kalimantan, terbukti palsu.
Kolapsnya Enron juga mengguncang neraca keuangan para kreditornya yang
harus gigit jari meski telah mengucurkan milyaran dolar-JP Morgan Chase dan
Citigroup adalah dua kreditor terbesarnya.
Hujan tangis mewarnai dengar pendapat dalam sebuah komite kongres awal
Januari ini ketika para karyawan Enron dan investor kecil-kecilan mengisahkan
bagaimana simpanan hari tua mereka musnah hampir seketika. Sebagian besar dana
pensiun dan tabungan 20.000 karyawan Enron terikat dalam saham yang kini tiada
nilai.
Beberapa pekan sebelum bangkrut,
Enron juga memecat sekitar 5.000 karyawannya, dari teknisi komputer di Texas
hingga pendaur-ulang kertas di New Jersey, menambah beban pengangguran di
Amerika yang sekarang sudah mencapai tingkat terburuk dalam 25 tahun terakhir.
Dengan dampak demikian luas, drama sebenarnya-juga sirkus–bahkan baru saja
dimulai. Skandal Enron menemukan bentuk barunya di panggung pertempuran hukum
yang luas, baik pidana maupun perdata. Implikasi politiknya terbukti telah ikut
mengguncang sekaligus Gedung Putih dan Capitol Hill (Gedung Kongres).
Departemen Kehakiman kini
menyidik kemungkinan adanya aspek pidana dalam kasus itu. Empat komite kongres,
semacam panitia khusus (pansus) DPR di sini, giat mengaduk apa yang
tersembunyi. Dan Departemen Tenaga Kerja mencoba mencari siapa yang
bertanggungjawab atas kerugian besar para karyawan.
Salah satu episode paling menarik akan dipertontonkan 4 Februari mendatang
ketika sebuah komite kongres mengundang aktor utama dalam drama ini: Kenneth L.
Lay, presiden komisaris sekaligus direktur Enron. Ken Lay akan ditanyai banyak
hal.
Salah satunya: bagaimana bisa
dia meraup untung ratusan juta dolar dari penjualan saham Enron sementara
ribuan karyawan nyaris kiamat hidupnya tanpa perlindungan?
Sejak akhir tahun 2000, ketika harga saham Enron di posisi puncak, para
eksekutif menjual saham yang mereka miliki dengan total nilai US$ 1,1 milyar.
Selama empat tahun terakhir, Ken sendiri diperkirakan meraup untung US$ 205
juta dari penjualan sahamnya. Dalam kurun yang sama dia membujuk karyawan dan
investor untuk membeli saham Enron, antara lain dengan iming-iming laporan
keuangan yang menjanjikan tapi palsu itu.
Bahkan pada 26 September 2001,
ketika harga saham jatuh menjadi US$ 25 per lembar, Ken Lay masih mencoba
menghibur karyawan untuk tidak menjualnya, sebaliknya membujuk mereka membeli.
Dalam e-mail yang dikirimkan kepada para karyawan yang risau, dia mengatakan
perusahaan dalam kondisi sehat secara keuangan dan bahwa harga saham Enron
“luar biasa murah” dalam posisi itu. Namun, hanya beberapa pekan kemudian,
Enron melaporkan kerugian yang bermuara pada kebangkrutannya. Para karyawan tak
bisa menjual saham mereka sampai semuanya sudah terlambat: Enron kehilangan
nilai sama sekali.
Pertanyaan penting lain akan
menyangkut inti dari skandal ini: kenapa Lay membolehkan para eksekutif Enron
membentuk sejumlah perusahaan rekanan rahasia dengan institusi di luar yang
tidak jelas reputasinya? Tidakkah dia dan dewan direksi mengeduk keuntungan
dari perusahaan rekanan itu, sekaligus menyembunyikan hutang Enron di situ
sehingga neraca keuangan Enron tetap nampak manis padahal kenyataannya busuk?
Pertanyaan serupa akan diajukan para penyidik kepada para eksekutif di
Arthur Andersen, perusahaan akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan
Enron. Bagaimana bisa mereka kecolongan selama beberapa tahun tanpa menandai
penyimpangan dalam akutansi Enron yang agresif, bahkan kriminal itu? Seberapa
banyak Andersen tahu tentang pemusnahan sejumlah dokumen audit Enron oleh salah
satu auditornya? Pertanyaan yang lebih kejam: tidakkah Andersen ikut terlibat
mempermak laporan keuangan mengingat Enron membayar mahal perusahaan itu-US$ 52
juta pada tahun 2000-tak hanya untuk jasa audit tapi juga jasa konsultasi?
Tapi, soal bisa akan lebih sederhana andai saja hanya Ken Lay, atau Arthur
Andersen, yang bisa jadi kambing hitam. Skandal Enron tak sesederhana itu.
Jebolnya Pertahanan Berlapis
Majalah Newsweek menulis,
skandal ini cukup menakutkan. Yakni kegagalan sistemik, sesuatu yang sebenarnya
tercermin jelas dalam Tragedi 11 September. Saat itu, semua perangkat seperti
bisu dan tuli tak bisa mencegah teroris membajak empat pesawat, menabrakkannya
ke pencakar langit dan membunuh ribuan orang. Dalam kasus Enron, sistem kontrol
berlapis-lapis tidak bisa mencegah segelintir orang memuaskan ketamakan di atas
penderitaan banyak orang.
Para direktur perusahaan publik punya kewajiban legal dan moral untuk
memberikan data keuangan yang jujur-para direksi Enron tidak melakukannya.
Fungsi auditor independen tak hanya memastikan bahwa laporan keuangan
sebuah perusahaan sesuai dengan aturan dan standar akutansi, tapi juga memberi
investor maupun kreditor gambaran yang fair serta akurat tentang apa yang
terjadi. Andersen gagal di dua lapangan itu.
Para analis di Wall Street diharapkan menyiangi secara kritis apa yang
tersembunyi di balik angka-angka-tak satupun melakukannya.
Bahkan nyaris tak satu pun para wartawan bisnis-pilar keempat
demokrasi-mampu mengendus keanehan Enron sampai kebusukan telah demikian
menusuk hidung.
Skandal Enron tak hanya menyangkut episode ketika perusahaan itu rontok
tiba-tiba. Tapi, juga misteri bagaimana dia mencuat menjadi raksasa yang
meteorik. Dan ini merupakan bagian yang lebih menakutkan lagi karena menyangkut
aspek politik dan ekonomi lebih luas, tak sekadar sektor keuangan.